YAYASAN TENAGA PEMBANGUNAN

AKADEMI FARMASI
Jl. Arjuna Pintubosi Laguboti Toba Samosir 22381
Sumatera Utara

YAYASAN TENAGA PEMBANGUNAN

AKADEMI FARMASI
Jl. Arjuna Pintubosi Laguboti Toba Samosir 22381
Sumatera Utara

YAYASAN TENAGA PEMBANGUNAN

AKADEMI FARMASI
Jl. Arjuna Pintubosi Laguboti Toba Samosir 22381
Sumatera Utara

POLITIK BAHASA INDONESIA

Politik Bahasa Indonesia


1. Mengapa Kita Mempelajari Bahasa Indonesia?
Mengapa bahasa Indonesia masih harus dijadikan mata kuliah dan dipelajari di semua jurusan atau program di seluruh fakultas di perguruan tinggi, padahal kini banyak di antara kita sudah belajar berbahasa Indonesia sejak lahir dan secara formal sejak di sekolah dasar, bahkan sejak di taman kanak-kanak? Alasannya tiada lain karena Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 37 Ayat 2 mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan beberapa mata kuliah pengembangan kepribadian yang lebih umum disingkat menjadi MPK. Satu di antara beberapa MPK adalah mata kuliah Bahasa Indonesia. Sebelumnya, mata kuliah Bahasa Indonesia dan sejenisnya diwadahi dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), lalu berkembang menjadi Mata Kuliah Umum (MKU), dan terakhir menjadi MPK.
Mengapa pula undang-undang tersebut begitu? Landasan pemikirannya ada dua. Pertama adalah satu dari tiga butir Sumpah Pemuda 1928 menyatakan “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Kedua adalah Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36, yang menyatakan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Hal itu dapat diartikan bahwa bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan penting, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Dengan perkataan lain, latar belakang mengapa bahasa Indonesia masih harus kita pelajari secara formal sampai di perguruan tinggi adalah adanya dua kedudukan yang dimiliki bahasa Indonesia. Tentu saja, kedua kedudukan tersebut memiliki fungsinya masing-masing.
a. Bahasa Nasional. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki tiga fungsi: (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, dan (4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing.
Fungsi pertama mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Berdasarkan kebanggaan inilah, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan. Selain itu, rasa bangga memakai bahasa Indonesia dalam berbagai bidang harus selalu kita bina dan kita tingkatkan.
Fungsi kedua mengindikasikan bahwa bahasa Indonesia – sebagaimana halnya lambang lain, yaitu bendera merah putih dan burung garuda – mau takmau suka taksuka harus diakui menjadi bagian yang takdapat dipisahkan dengan bangsa Indonesia. Jadi, seandainya ada orang yang kurang atau bahkan tidak menghargai ketiga lambang identitas kita ini tentu sedikitnya kita akan merasa tersinggung dan rasa hormat kita kepada orang tersebut menjadi berkurang atau malah hilang. Karena itu, bahasa Indonesia dapat menunjukkan atau menghadirkan identitasnya hanya apabila masyarakat bahasa Indonesia membina dan mengembangkannya sesuai dengan keahlian dalam bidang masing-masing.
Fungsi ketiga memberikan kewenangan kepada kita berkomunikasi dengan siapa pun memakai bahasa Indonesia apabila komunikator dan komunikan mengerti. Karena itu, kesalahpahaman dengan orang dari daerah lain bisa kita hindari kalau kita memakai bahasa Indonesia. Melalui fungsi ketiga ini pula kita bisa memahami budaya saudara kita di daerah lain.
Fungsi keempat mengajak kita bersyukur kepada Tuhan karena kita telah memiliki bahasa nasional yang berasal dari bumi kita sendiri sehingga kita dapat bersatu dalam kebesaran Indonesia. Padahal, ketika dicanangkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia boleh dikatakan tidak memiliki penutur asli karena berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda paling banyak penuturnya di antara bahasa-bahasa daerah yang ada di Nusantara ini. Jadi, berdasarkan jumlah penutur, yang pantas menjadi bahasa nasional sebenarnya kedua bahasa daerah itu. Apalah jadinya seandainya bahasa Jawa atau bahasa Sunda yang diangkat menjadi bahasa nasional. Mungkin saja terjadi perpecahan perang antarsuku, lalu muncul negara-negara kecil. Karena itu, tentu bukan soal jumlah penutur yang menjadi landasan para pemikir bangsa waktu itu. Mereka berpikiran jauh ke masa depan untuk kebesaran dan kejayaan bangsa; dan lahirlah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

b. Bahasa Negara. Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara memiliki empat fungsi yang saling mengisi dengan ketiga fungsi bahasa nasional. Keempat fungsi bahasa negara adalah sebagai berikut: (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Dalam fungsi pertama bahasa Indonesia wajib digunakan di dalam upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik lisan maupun tulisan. Begitu juga dalam penulisan dokumen dan putusan serta surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan. Hal tersebut berlaku juga bagi pidato kenegaraan.
Fungsi kedua mengharuskan lembaga-lembaga pendidikan menggunakan pengantar bahasa Indonesia. Lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi mau takmau dalam pelajaran atau mata kuliah apa pun pengantarnya adalah bahasa Indonesia. Namun, ada perkecualian. Bahasa daerah boleh (tidak harus) digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar sampai tahun ketiga.
Fungsi ketiga mengajak kita menggunakan bahasa Indonesia untuk membantu kelancaran pelaksanaan pembangunan dalam berbagai bidang. Dalam hal ini kita berusaha menjelaskan sesuatu, baik secara lisan maupun tertulis, dengan bahasa Indonesia agar orang yang kita tuju dapat dengan mudah memahami dan melaksanakan kegiatan pembangunan.
Fungsi keempat mengingatkan kita yang berkecimpung dalam dunia ilmu. Tentu segala ilmu yang telah kita miliki akan makin berguna bagi orang lain jika kita sebarkan kepada saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di seluruh pelosok Nusantara, atau bahkan jika memungkinkan kepada saudara kita di seluruh dunia. Penyebaran ilmu tersebut akan lebih efektif dan efisien jika menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah atau bahasa asing.

c. Variasi Pemakaian Bahasa. Variasi pemakaian bahasa Indonesia pun merupakan landasan pemikiran diadakannya mata kuliah bahasa Indonesia sampai di perguruan tinggi. Kita dapat mengetahui perbedaan pemakaian bahasa Indonesia tatkala kita membaca koran nasional dan koran daerah, misalnya. Perbedaan itu dapat juga dibuktikan ketika kita pergi ke daerah lain, baik pilihan kata maupun intonasi, atau bahkan kalimatnya. Begitu pula ketika pergi ke pasar lalu ke kantor atau ke kampus, kita akan segera tahu adanya perbedaan pemakaian bahasa Indonesia. Contoh yang paling mudah untuk melihat perbedaan pemakaian ini adalah bahasa dalam SMS atau ceting (chatting) dan dalam makalah. Bahasa SMS takketat, bahkan bisa dan boleh semau kita, sedangkan bahasa makalah penuh dengan aturan yang harus kita taati.

d. Perkembangan Bahasa. Bila dibandingkan dengan bahasa Inggris, Perancis, Arab, Belanda, Mandarin, Jepang atau bahasa asing lainnya, atau juga bahasa daerah, bahasa Indonesia relatif masih muda. Ia baru lahir pada akhir tahun 1928, yaitu melalui Sumpah Pemuda. Namun, perkembangannya begitu pesat. Hingga tahun 1988 – berarti enam puluh tahun – bahasa Indonesia sudah memiliki lebih dari 60.000 kata. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap kosakata dari berbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Banyak kosakata daerah, terutama Jawa dan Sunda, masuk ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa asing yang banyak diserap pada awalnya adalah bahasa Arab, lalu bahasa Belanda, dan kini bahasa Inggris. Hingga 1972 bahasa Indonesia dalam hal menyerap lebih berorientasi pada bahasa Belanda. Karena itu, banyak kosakata yang berasal dari bahasa Belanda, misalnya, tradisionil, formil, sistim. Namun, sejak 1972 – bersamaan dengan lahirnya Ejaan yang Disempurnakan (EYD) – bahasa Indonesia dalam hal menyerap kosakata asing lebih berorientasi pada bahasa Inggris. Karena itu, kosakata yang berasal dari bahasa Belanda seperti ketiga contoh taklagi dianggap baku. Kosakata yang dianggap baku untuk ketiga kata tersebut adalah tradisional, formal, dan sistem. Pada akhir tahun 1990-an – ketika yang memimpin Indonesia adalah Abdurrahman Wahid – perkembangan kosakata bahasa Indonesia memperlihatkan gejala lain. Pada waktu itu muncul lagi kosakata yang berasal dari bahasa Arab yang sebelumnya hanya digunakan di lingkungan pesantren. Contohnya adalah kata-kata istigosah, akhwat, ikhwan. Perkembangan tidak hanya terjadi pada bidang kosakata, tetapi juga pada bidang lain seperti istilah atau ungkapan dan peribahasa. Hal tersebut bisa kita temukan dengan membaca Siti Nurbaya karya Marah Roesli dan Saman karya Ayu Utami, misalnya. Contoh lain dapat kita temukan dengan membaca koran tahun 1980-an dan koran tahun 2000-an. Tahun 1980-90an muncul ungkapan menurut petunjuk, demi pembangunan, dan sebagainya. Tahun 2000-an lebih sering muncul kata-kata reformasi, keos (chaos), dan sebagainya.
Perkembangan bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada ragam resmi. Dalam ragam takresmi pun terjadi perkembangan. Bahkan, perkembangan dalam ragam takresmi lebih pesat, namun juga lebih cepat menghilang. Misalnya, pada tahun 1980-an muncul kata asoy yang berarti ‘asyik’; tahun 1990-an muncul kata ni ye yang bertugas sebagai penegas kalimat; tahun 2003-an muncul kata lagi yang bertugas baru sebagai penegas seperti pada ungkapan PD (percaya diri) lagi atau abis lagi. Padahal arti lagi yang sebenarnya adalah ‘kembali’ atau ‘sedang’. Tahun 2004 muncul gitu lo atau getho lho, dan semacamnya. Bidang makna pun mengalami perkembangan. Ada lima penyebab perkembangan makna, yaitu (1) peristiwa ketatabahasaan, (2) perubahan waktu, (3) perbedaan bahasa daerah, (4) perbedaan bidang khusus, (5) perubahan konotasi.
1) peristiwa ketatabahasaan. Sebuah kata, misalnya tangan, memiliki makna berbeda karena konteks kalimat berbeda.
- Agus pulang dengan tangan hampa.
- Dadang memiliki banyak tangan kanan.
- Tangan Didi sakit karena jatuh.
2) perubahan waktu makna dahulu makna sekarang. Bapak : orang tua laki-laki, ayah sebutan terhadap semua orang laki-laki yang umurnya lebih tua atau kedudukannya lebih tinggi
canggih: cerewet, bawel pintar dan rumit, modern saudara : orang yang lahir dari ibu dan bapak yang sama sapaan bagi orang yang sama derajatnya, orang yang dianggap lahir dari lingkungan yang sama seperti sebangsa, seagama, sedaerah

3) perbedaan bahasa daerah. Kata atos dalam bahasa Sunda berarti ‘sudah’, sedangkan dalam bahasa Jawa berarti ‘keras’. Kata bujur dalam bahasa Sunda berarti ‘pantat’, sedangkan dalam bahasa Batak berarti ‘terima kasih’, dan dalam bahasa Indonesia berarti ‘panjang’.

4) perbedaan bidang khusus. Dalam bidang kedokteran kata koma berarti ‘sekarat’, sedangkan dalam bidang bahasa berarti ‘salah satu tanda baca untuk jeda’. Kata operasi dalam bidang kedokteran berarti ‘bedah, bedel’, dalam bidang kemiliteran atau yang lain berarti ‘tindakan’, dan dalam bidang pendidikan berarti ‘pelaksanaan rencana proses belajar mengajar yang telah dikembangkan secara rinci’.

5) perubahan konotasi. Kata penyesuaian berarti ‘penyamaan’, tetapi agar orang lain tidak terkejut atau marah, kata itu dipakai untuk makna ‘penaikan’. Misalnya penaikan harga menjadi penyesuaian harga.
Perkembangan lain dalam bahasa Indonesia adalah pergantian ejaan. Sejak 1972 bahasa Indonesia memakai sistem ejaan yang dinamakan Ejaan yang Disempurnakan (EYD), yang dalam kenyataannya sampai sekarang belum diperhatikan penuh oleh masyarakat pemakainya. Karena itu, kesalahan pemakaian masih banyak terjadi. Misalnya, banyak orang masih kesulitan membedakan pemakaian huruf kecil dan huruf kapital; pemakaian singkatan nama diri, nama gelar, dan nama lembaga. Padahal, jika diperhatikan, pemakaian ejaan dapat juga membedakan makna.
Perhatikan contoh kedua kalimat matematis ini! Perbedaan ada pada pemakaian tanda baca koma.
Diketahui A = 4, berapa nilai B, C, D, dan E pada kedua pernyataan berikut?
1) A = B, C, D, dan E.
2) A = B, C, D dan E.
Contoh lain tentang pemakaian huruf kapital dan huruf kecil:
- Kemarin ibu pergi dengan Ibu Neneng.
- Orang Sumedang makan tahu sumedang.
Kesalahan lain yang sering dijumpai adalah pelafalan yang taksesuai dengan kaidah ejaan. Menurut EYD, setiap kata dilafalkan sesuai dengan hurufnya, kecuali untuk nama diri. Untuk nama diri, penulisan dan pengucapan merupakan hak otonomi pribadi. Misalnya, Deassy, Dessy, Desy, Desie, Desi, Deasie; Yenny, Yeny, Yenni, Yennie, Yenie, atau Yeni. Namun, masih banyak di antara kita yang “buta huruf” sehingga takdapat membedakan huruf c dan huruf k, dan huruf s; atau huruf t dengan huruf c, dalam beberapa kata yang berbeda. Karena kurang perhatian pada hal-hal sepele itu, banyak orang melafalkan secara taktepat kata-kata panitia, unit, pasca, aksesoris, lab (akronim dari laboratorium yang diucapkan leb) dan sebagainya.
e. Sikap dan Kesadaran Berbahasa. Kita memiliki politik bahasa nasional – kekuatan politis (political will) untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pada sisi lain, justru banyak penyimpangan dari kekuatan pedoman itu sehingga timbul pertanyaan apakah berlaku hukum ”di situ ada aturan, di situ pula ada pelanggaran”. Penelusuran dua variabel ini memungkinkan kita untuk dapat mengantisipasi sikap kita terhadap kasus-kasus seperti itu secara proporsional. Lebih-lebih sebagai cendekiawan, kita memiliki peran strategis untuk menegakkan kebenaran politis dalam menjunjung martabat bahasa Indonesia, sekaligus mengangkat jatidiri bangsa.
Politik bahasa nasional memberikan bobot kekuatan terhadap bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa daerah atau bahasa asing. Salah satu fungsi politik bahasa nasional adalah memberikan dasar dan arah bagi perencanaan dan pengembangan bahasa nasional sehingga dapat memberikan jawaban tentang fungsi dan kedudukan bahasa (nasional) dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Alih-alih kita tahu bahwa Sumpah Pemuda 1928 tidak hanya mengakui, tetapi juga menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan demikian, mendudukkan bahasa Indonesia dalam status yang tinggi tidaklah berlebihan, malah sudah sepantasnya.
Kita ketahui bahwa bahasa Indonesia memiliki posisi penting dalam hubungannya dengan bahasa lain. Kita dituntut untuk memiliki perencanaan matang dan terarah dalam menghadapi perubahan dan perkembangan kebudayaan. Itulah yang dinamakan kemantapan dinamis.
Pada pihak lain, banyak di antara kita yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan posisi bahasa Indonesia. Dengan berbagai alasan, mereka banyak menyelipkan kata – bahkan kalimat – berbahasa asing, baik secara lisan maupun secara tertulis tanpa memperhatikan kemampuan berbahasa orang yang dituju. Jangan jauh-jauh, kita lihat saja orang-orang di sekitar kita, di kampus. Banyak dosen (padahal dia tidak fasih berbahasa asing) menggunakan kata atau istilah asing sehingga mahasiswa harus berpikir dua kali atau bahkan lebih. Si dosen tidak sadar bahwa bahasa Indonesia merupakan sarana pencerdas bangsa. Ada pula anggota DPR RI kala diwawancara mengatakan, “Kami akan mensaport sepenuhnya”. Disangkanya semua fonem [u] dalam bahasa Inggris diucapkan menjadi [a] sehingga support ‘dukungan’ diucapkan saport. Kalau mau, kata itu diserap menjadi supor dan bentuk kata kerjanya menyupor. Contoh lain, kita berjalan-jalan ke toko di seantero Nusantara. Banyak di antara mereka menggunakan kata berbahasa asing (baca: Inggris!) misalnya cut price sehingga orang bisa menyangka bahwa itu nama orang Aceh seperti halnya Cut Nyak Dhien. Atau juga ada soft opening yang disangka semacam sop buntut dan ada escargot dibaca [ès kaar gṓ] yang disangka semacam es teler atau es campur.
Alasan mereka berkisar pada hal-hal yang sebenarnya tidak tepat dijadikan alasan. Misalnya, bahasa Indonesia kaku, di dalam bahasa Indonesia kata asing itu tidak ada, atau bahasa Indonesia tidak menarik minat calon pembeli. Singkatnya, bahasa Indonesia tidak bergengsi tinggi. Karena itu, di klinik atau di puskesmas pun terbentang kain rentang bertuliskan “Medical General Check Up Paket Hemat” bukan “Paket hemat periksa kesehatan menyeluruh”. Sebabnya tiada lain yang cek-ap orang kaya, sedangkan yang periksa orang miskin.
Jika kita telusuri, yang kaku bukan bahasa Indonesia, melainkan kita sebagai pemakainya. Bahasa Indonesia memiliki imbuhan untuk pengaya kata. Jadi, jika belum ada kata yang tepat, kita cari dalam kamus, kita ikuti prosedur pembentukan kata atau istilah baru. Jika bahasa Indonesia kurang bergengsi, kitalah yang bertanggung jawab menaikkan gengsinya karena kita pemilik sekaligus pemakainya.
Sebenarnya, kalau kita sadari, banyak dukungan politis bagi pengindonesiaan kata dan istilah asing, antara lain, sebagai berikut:
1. Sumpah Pemuda 1928;
2. UUD 1945, Bab XV Pasal 36 tentang bahasa negara;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1972 tentang penggunaan Ejaan yang Disempurnakan;
4. Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 20 tanggal 28 Oktober 1991 tentang pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa;
5. Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1/U/1992 tanggal 10 April 1992 tentang peningkatan usaha pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa; dan
6. Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia kepada Gubernur, Walikota, dan Bupati Nomor 434/1021/SJ tanggal 16 Maret 1995 tentang penertiban penggunaan istilah asing.

Sayangnya, keenam butir tersebut hanya dilirik dan ditaati selama empat tahun. Setelah pergantian menteri, keenam butir itu tidak diperhatikan lagi, baik oleh perseorangan, lembaga swasta, maupun lembaga pemerintah. Contoh kecil, hampir di pelbagai perguruan tinggi di seluruh Nusantara ada gedung yang dinamakan Student Centre atau Student Center. Mengapa tidak memakai Gedung Mahasiswa atau Pusat Mahasiswa atau yang lainnya karena penghuninya masyarakat bahasa Indonesia? Mengapa pula di jalan yang banyak dilalui angkutan kota terdapat rambu yang bertuliskan Slow Down? Apakah semua sopir atau tukang ojeg mengerti bahasa Inggris? Contoh lain, di pertokoan sangat marak pemakaian kata-kata asing, padahal pengunjungnya sangat sedikit yang mengerti bahasa asing secara baik.
Pemakaian kata atau istilah asing tampaknya dipandang sebagai peningkat gengsi sosial. Padahal, kalau kita sadari bersama secara kompak, bahasa Indonesia pun bisa dipakai untuk menaikkan gengsi sosial. Misalnya, ketika kita masuk ke sebuah pusat perbelanjaan yang megah dan di sana kita lihat label-label barang dan nama-nama sudut toko memakai bahasa Indonesia, secara psikologis gengsi kita tetap sebagai orang “kotaan”, orang “modern”. Yang menurunkan atau menaikkan gengsi sosial kita dalam hal ini mungkin saja pakaian dan cara kita berpakaian atau juga perilaku kita secara menyeluruh.

2. Pelatihan
• Ucapkan kata-kata atau singkatan/akronim di bawah ini sesuai dengan abjad yang berlaku dalam bahasa Indonesia! Adakah perbedaan ucapan dan mengapa hal itu terjadi?
-AIDS/HIV
-TransTV
-TVRI
-MetroTV
-BandungTV
-SCTV
-ANTV
-WHO
-MTQ
-HP
-IM3
-P3K
-psikologi
-unsur
-unit
-volume
-pascasarjana
-panitia
-logistik
-Indonesia (dalam lagu “Indonesia Raya”)
-http://www.simkuring-dewek.com
• Bedakan penulisan singkatan nama diri dan nama gelar pada nama di bawah ini!
Dede Surede Syarif Hidayat Sarjana Hukum
• Bagaimana pendapat Anda tentang hal-hal berikut?
1. Tadi Ibu menemui Ibu Asep atau Tadi ibu pergi dengan Ibu Asep atau …
2. Buku kamu ada di saya.
3. Coba kasih buka itu pintu.
4. Gue lagi cekak ne.
5. Apa sech yang lo risaukan?
6. Semua sudah pada pergi.

3. Tes Formatif
1. Mengapa di perguruan tinggi ada mata kuliah pengembangan kepribadian seperti mata kuliah Bahasa Indonesia?
2. Uraikan empat fungsi bahasa dalam kedudukannya sebagai bahasa negara dan bahasa nasional!
3. Bedakan variasi pemakaian bahasa Indoensia ragam santai dan ragam ilmiah!
4. Uraikan dengan contoh tiga macam variasi pemakaian bahasa Indonesia.
5. Mengapa dalam bahasa Indonesia terjadi variasi pemakaian?
6. Sejak kapan EYD diberlakukan dan mengapa berorientasi pada bahasa Inggris?
7. Mengapa akhir tahun 1990-an banyak muncul kata baru dari bahasa Arab?
8. Tulislah lima kosakata baru takbaku dan lima kosakata baku!
9. Bagaimana sikap Anda terhadap dosen yang banyak menyelipkan kata asing padahal kata tersebut ada dalam bahasa Indonesia?
10. Bagaimana pendapat Anda tentang bahasa Indonesia yang harus dijunjung seperti tercantum dalam Sumpah Pemuda?

Comments :

3 komentar to “POLITIK BAHASA INDONESIA”

Unknown mengatakan... on 

tolong di posting dong apa penghargaan yang diterima dalam politik bahasa nasional,,,

Unknown mengatakan... on 

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

Edwin Schafer mengatakan... on 

Kami adalah investor yang menawarkan jasa keuangan untuk perorangan dan bisnis. Menjamin dukungan keuangan untuk tujuan pribadi dan bisnis. Kami telah membawa industri sakit kembali ke kehidupan dan kami mendukung ide bisnis yang baik dengan menyediakan dana untuk start up mereka. Kami memiliki jaringan investor bersedia untuk menyediakan individu dan organisasi dengan dana dari jumlah apapun untuk memulai bisnis dan operasi. Perusahaan kami telah membuat banyak terobosan dalam memberikan layanan keuangan kelas dunia kepada klien kami, terutama di bidang sindikasi pinjaman dan penyediaan modal untuk individu dan bisnis di seluruh dunia. Kami memiliki akses dan koneksi, untuk meningkatkan dari 10000 Euro ke 800.000.000 Euro dan banyak lagi. Perlu pinjaman yang mendesak? Apakah Anda secara finansial turun? Apakah Anda memerlukan pinjaman untuk membayar tagihan atau meningkatkan bisnis Anda? Kami menawarkan semua jenis pinjaman dengan tingkat bunga yang terjangkau 2% dan jangka waktu pinjaman dari 1 sampai 40 tahun untuk membayar kembali pinjaman aman dan tanpa jaminan. (IMPERIAL LOANS) adalah jawaban akhir untuk masalah keuangan Anda. Tidak ada jaminan yang diperlukan. Tidak ada biaya tersembunyi. Tidak ada kerja kertas yang rumit. Kami adalah sekelompok spesialis kredit yang berpengalaman dengan pengetahuan yang mendalam tentang pasar keuangan. Jangan menyimpan masalah keuangan Anda kepada diri sendiri sehingga Anda tidak menjadi debitur. Hubungi kami hari ini untuk membantu Anda membebaskan diri dari perbudakan keuangan. panggilan/teks + 16312129029 email: (imperialincorporated1@gmail.com)

Posting Komentar

 
Aldon Samosir. Diberdayakan oleh Blogger.